Kisah di Balik Senja #1

Senja selalu menyiratkan kebahagiaan tersendiri untukku. Memandangi mentari yang tergelincir ke perut bumi dengan semburat warna jingga. Ditemani derai ombak dan desir angin yang menyeka tubuh. Atau tawa riuh anak – anak yang bermain bola.

Lebih menyenangkan lagi, jika ku habiskan waktu itu bersamamu. Ya, senja bahagia. Aku, kamu dan senja. Di bawah payung langit dan kicauan para burung yang seolah turut berbahagia. Menyanyikan lagu cinta untuk kita berdua.

Tak pernah terucap kata cinta, tapi seolah kata itu telah terwakili oleh segala hal yang kita lakukan bersama. Biar rasa itu yang meresap, bukan hanya terucap. Meski demikian, perasaan itu telah memenuhi hati kita masing – masing. Dan aku benar – benar bisa merasakannya tanpa kau mengucap kata itu.

“Biarkan rasa ini yang menunjukkan siapa pemiliknya, bukan mulut yang mengucap,” katamu sambil memegang erat tanganku, memenuhi ruang kosong di sela – sela jemariku.

“Dan kaulah pemiliknya, Dzakii” jawabku yang masih memandang mentari yang akan terbenam.

Hening sesaat. Kita terbang dengan angan masing – masing. Aku merasakan sesekali kau menengok ke arahku, seperti ingin mengucap sesuatu. Tapi aku membiarkanmu tetap seperti itu, ku biarkan kau meyakinkan diri untuk mengatakan apapun itu kepadaku. Karena memang demikian yang kita lakukan selama ini, senantiasa jujur dan terbuka. Kemudian ucapmu memecahkan semua keheningan.

“Salwa, dengarkan aku. Aku akan segera melamarmu. Aku dan keluargaku akan menemui orang tuamu,”

Aku terhenyak. Dadaku rasanya seperti dipenuhi bunga – bunga kebahagiaan. Aku menunduk. Lalu aku menoleh kepada sosok lelaki yang duduk di sampingku, lelaki yang sudah ku kenal selama hampir 5 tahun itu. Lelaki tampan dan cerdas seperti namanya, menatapku lekat – lekat. Ku arahkan pandanganku kepadanya. Dia tersenyum tulus, bahkan matanya pun ikut tersenyum. Meski bibirnya masih terlihat bergetar. Hatiku berdesir. Jantungku berdebar. Tubuhku gemetar. Melihat bintang – bintang bertebaran di matanya. Merasakan bunga – bunga cinta yang tumbuh di pancaran senyumnya. Sorot matanya penuh keyakinan, pandangannya penuh harap.

Jangankan berkata, membuka mulut pun rasanya aku tak sanggup. Aku hanya mampu tersenyum. Senyum yang disusul dengan butir air mata yang tak ku sadari telah menetes. Kau mengusapnya, hangat. Lalu aku menenggelamkan wajahku ke dadamu, dada yang tak begitu lebar, mengingat tubuhmu yang tak terlalu besar, dada yang menenangkan tiap aku singgah. Dan detak jantungmu, aku benar – benar bisa mendengar degupannya. Badannya juga sedikit gemetar. Kau benar – benar mengumpulkan segenap keberanian untuk mengatakannya, Dzakii. Tapi pelukan hangat itu membuatku berada pada dunia yang berbeda. Aku melayang.

Aku tak menyangka, ternyata kau benar – benar serius. Kadang aku ragu, benarkah kau mencintaiku, karena pengakuan cinta memang tak pernah terucap di mulut kita berdua. Tapi aku selalu bisa merasakan kehadiran rasa itu,meski pengakuan itu memang tak pernah ada. Sikapmu, matamu, semua yang ada di dirimu, Dzakii, aku bisa merasakannya. Aku bisa merasakannya.

Dan di hari itu, di senja penuh cinta itu, kau telah menepis segala keraguanku. Kau telah membuktikan bahwa rasa cinta itu bukan hanya diucap. Rasa itu meresap, rasa itu telah menemukan pemiliknya. Dan kau adalah pemiliknya, Dzakii. Rasa itu telah memiliki rumah, yaitu hatimu. Aku terus berbicara pada diriku sendiri dan sesekali menyeka kristal bening yang semakin membanjiri pipi.

Gemericik ombak yang terdengar kala itu seperti alunan lagu yang indah untukku. Desir pasir seolah menyambutku dan tertawa bahagia. Semua nampak begitu bahagia di mataku. Semua nampak indah di senja berwarna merah madu itu.

Dzakii, kamu telah membuktikannya. Sekali lagi, kamu telah membuktikannya.


Aku masih terbawa euforia dicinta. Sebuah perasaan dari Tuhan yang ada di setiap hati makhluk-Nya.

Kamu seperti oase di gurun pasir, kamu membawa nuansa berbeda dalam hidupku. Saat lelaki lain mendekat, datang dan membual janji lalu pergi begitu saja,kau tidak demikian. Kau tetap ada. Seolah mengerti apa yang aku butuh. Memang, romansa cinta kita berdua tak akan pernah usai untuk diulas. Berawal dari pertemanan, kita dengan kekasih masing – masing waktu. Hingga tahun berganti, kita sama – sama sendiri dan kita memang yakini bahwa rasa itu perlahan mulai hadir.

Tuhan, inikah bagian dari prosesmu? Inikah akhir pencarianku?


Tiba - tiba saja, anganku membawa ingatan ke masa lalu. Ternyata sudah lima tahun.

*bersambung..

3 comments:

  1. aku kira Senja versi mba Hani Honeylizious loh mba. :D

    ReplyDelete
  2. diksinya indah, hmmm.... apalagi ihwal senja...
    dan penasaran lanjutannya neh....

    ReplyDelete

Hai! Terima kasih sudah membaca sampai selesai ya. Silakan tinggalkan komentarmu di sini :)