Kebutuhan Didengarkan vs Ketakutan Bersuara

Setelah sekian tahun, hari ini saya mencoba membuka blog yang dulu dibuat untuk melampiaskan uneg-uneg dan cerita receh tentang pengalaman hidup. Bisa dibilang, ini adalah fase pertama saya dalam ngeblog.

Membaca kembali tulisan lama membuat saya tersenyum kecil. Meski ada juga cerita fiksi, saya paham betul maksud dari tulisan tersebut, termasuk kata atau pilihan kalimat dan cerita yang barangkali sekarang terasa norak, tapi mungkin dulu saya menulisnya dengan bahagia (walau mungkin hatinya sedang patah 😂), semua mengalir begitu saja saat saya memang ingin menulis.

Fase kedua, diisi dengan pengalaman menjelajah kuliner atau wisata, dokumentasi acara, sponsored post dan semacamnya. Di periode ini, saya jadi semakin dekat dengan kawan-kawan blogger dan memperluas pengalaman dalam menulis.

Tahun berlalu, kondisi dan posisi dalam kehidupan berubah. Begitu pula kemudahan dalam menyampaikan suara atau pendapat, dan sebut saja ini adalah fase ketiga.

Iklim berinternet yang bagiku tak sesehat dulu, kejahatan siber yang merajalela, warganet yang mudah saling serang, jejak digital yang dikorek kembali, dan hal-hal yang bersifat pribadi yang membuat saya perlu menahan diri.

Dulu jari-jari ini dengan mudah menari di atas papan tombol laptop. Sekarang saat mau menulis saja, sudah banyak pikiran-pikiran bersliweran. Dialog yang muncul di kepala seolah-olah beranggapan bahwa tulisan saya jelek, tulisan saya gak penting, adakah yang membaca, apakah ada yang kontra dengan pendapat pribadi, gimana kalo tulisan saya dibaca oleh orang tertentu, apa komentarnya, dan lain sebagainya.

Kelelahan psikis yang selalu membuat urung untuk menulis, padahal isi kepala luar biasa liar. Semua tertahan di kepala, meski banyak hal yang ingin ditumpahkan, banyak cerita yang ingin saya bagikan. Padahal ngeblog itu ben ra ngganjel, to? Sayangnya, menulis di media daring sekarang ini bisa melepas sesuatu yang ngganjel, tapi bisa menimbulkan keganjelan lainnya bagiku, dan itulah yang akhirnya membuat saya gak nulis-nulis 😅

Padahal kebutuhan saya untuk didengarkan cukup besar, apalagi semenjak tidak lagi menjadi penyiar radio. Jadi banyak energi yang tertahan, tapi untuk bersuara pun merasa ketakutan. Yah, ruwet.


Kehilangan Momen

Itulah risiko yang saya rasakan selama ini. Banyak kejadian menarik di hidup saya selama beberapa tahun belakangan, banyak tempat wisata yang sudah didatangi, banyak kuliner yang sudah saya jelajahi, apalagi sebagai warga nomaden yang sering berpindah tempat tinggal mendampingi tugas suami.

Saya tidak punya cerita lengkap mengenai semua itu, hanya beberapa foto di hape yang sempat saya abadikan. Dulu, saya berpikir ingin menikmati jalan-jalan, gak mau ribet cari informasi untuk dasar tulisan, benar-benar cuma mau jalan atau jajan, titik. Tapi sekarang saya baru menyadari: saya telah kehilangan momen.

Meski tidak ditulis, apakah lupa dengan kenangannya? Tentu saja tidak, tapi barangkali detil kecil ada yang terlewat. Karena dengan menulis, sejatinya kita sedang mengabadikan kenangan.

Saat membaca kembali tulisan lama saya, momen itu seperti menguat, potongan episode saat itu terbayang jelas, sampai akhirnya memunculkan berbagai ekspresi, bisa terasa hangat, senang, atau jengkel gemes pada kejadian tertentu. Bahkan saya sempat mimblik-mimblik saat menyelasaikan tulisan ini :')

Oh, betapa rindunya saya pada masa itu.

No comments

Post a Comment

Hai! Terima kasih sudah membaca sampai selesai ya. Silakan tinggalkan komentarmu di sini :)