Dulu aku berpikir, dengan diam - diam semua akan nampak baik. Tidak sembunyi, hanya dipendam. Namun, berselang ribuan hari, ternyata tak lebih baik dari apa yang ku pikirkan dulu. Yang diam - diam itu, kini bergemuruh di hati masing - masing, lalu meluap. Seperti gunung merapi yang memuntahkan laharnya. Lalu, jika hati, apa yang dimuntahkan? Kecewa?
Aku ingin bercerita tentang masa - masa saat rasa itu pernah menggebu. Ya, memang pernah, dulu. Saat badan besarmu menutupi tubuh kecilku di bawah hujan. Saat kamu memerhatikan kesehatanku. Saat namamu memenuhi kotak masuk ponselku. Saat tanganmu, dengan mudah menggenggam tangan mungilku, mencoba menghangatkanku. Saat jaketmu menyelamatkanku dari dinginnya malam itu, yang jika ku pakai nampak seperti rok sepanjang lutut kakiku. Saat itu.. Saat enam tahun yang lalu..
Awalnya aku yakin, kita punya perasaan yang sama. Setiap kata di pesan singkatmu. Setiap pandangan yang kau lempar ke arahku. Awalnya, aku yakin. Atau hanya aku yang terlalu percaya diri? Sampai tiba di suatu masa..
Pertemuan yang semakin renggang, komunikasi pun semakin arang. Hingga akhirnya aku tahu, kau telah ada yang memiliki. Sesaat setelah aku meninggalkan masa pendidikan dimana ia telah mempertemukan kita.
Kamu.. telah menambatkan hati pada perempuan manis bertubuh tinggi.
Sirna.
Buih - buih harapan yang telah kau tanam, tiba - tiba terasa sirna.
Rasanya seperti air yang menghujani atap, gemeretak.
And I was totally crushed, didn't you know?
Kalau saja kamu tahu, aku tidak pernah membayangkan hal ini sebelumnya, bahkan sampai detik ini. Kalau saja kamu tahu, saat sebuah pesan mendarat di ponselku, mengabarkan kamu yang sedang berbahagia, seperti ada beton yang runtuh jatuh di atas kepalaku, menciptakan pedih dan memecah tangis. Meski aku hanya menitipkan sepenggal rasa yang berbeda, dari situ, aku baru sadar, ternyata secerca harap juga hinggap.
Aku tak mengerti.
Kini, bagaimana bisa kamu berkata bahwa kamu bukan orang yang ku pilih saat itu?
Bukankah kamu yang telah merelakanku untuknya? Untuk lelaki yang kau anggap sebagai adik?
Aku tak mengerti. Sungguh!
Lelaki itu datang, saat semua tampak kelabu. Dengan warna yang ia bawa, dia sempat menitipkan secerca pelangi di hidupku. Dia pintar mencuri, mencuri hatiku yang telah kau curi. Aku menikmati euforia dicinta dengan tak diam - diam. Awalnya semua nampak sempurna, dia membuatku melayang. Sampai akhirnya ia menciptakan goresan luka di palung hati yang paling dalam saat 'kita' berubah menjadi 'aku' dan 'kamu' saja tanpa ku tahu pasti karena apa. Meski euforia itu sebentar, tapi ia sempat menjadi semacam tatoo: susah hilang, meski sakit sekali saat dibuat. Namun sekuat apapun aku mencoba menghapus, Tuhan punya cara sendiri untuk menyembuhkannya dan ternyata, caranya jauh lebih indah dari yang aku harap. Ya, luka itu memang sembuh tapi bekasnya belum tentu bisa hilang.
Itukah yang sebenarnya kau inginkan?
Aku tak pernah tau kapan rasa itu datang, aku tak pernah tahu kapan rasa itu pergi, bahkan hingga detik ini. Yang lebih aku tak tahu adalah bagaimana perasaanmu yang sebenarnya, padaku.
Hingga pesan singkatmu kemarin malam, membangunkan kesedihanku yang lama terpendam.
Pedih.
Terlebih ketika aku menyadari bahwa kamu telah memiliki kekasih hati: perempuan yang kau pajang manis di foto profilmu. Harusnya kau tak berkata demikian, sayang.
Sejujurnya, bukan malas yang ku rasa saat kau membicarakan ini. Tapi ada sedih yang diam - diam menelusup di hati. Aku tak ingin, ia menggerogoti hatiku yang kini telah ku sembuhkan, telah ku bangun kokoh. Tidak, aku tidak mau.
Ah, sudahlah. Ini bagian dari masa lalu, yang akan ku simpan di kotak kenangan bersama segenap perasaan yang pernah ada. Ku simpan di suatu tempat tersembunyi. Dan kali ini, aku benar - benar bersembunyi.
Kini, aku menyadari, bahwa dengan diam - diam tak selalu nampak baik. Justru yang diam - diam, bisa jadi seperti bom waktu yang kapan saja bisa meledak.
"..so tell that someone that you love, just what you're thinking of if tomorrow never comes.."
Kamar. Gerimis. 23 Januari 2012.
If Tomorrow Never Comes - Ronan Keating.
quote: To be happy, sometimes you just have to forget what's gone, appreciate what still remains and look forward to the good that's coming next. - @TheNoteboook
Rahasia Saja
By Soviana Maulida
Seorang istri yang berprofesi sebagai penyiar radio. Seorang perempuan yang gemar belajar, membaca dan menuliskan banyak hal di sini.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
wuih..dalem banget y sov
ReplyDeletetp apapun it, qt gak boleh larut dgn masa lalu
u have to make a move, gals ;)
-salam kenal ^^v
hehehe dalem gimana? siaap! itu pasti. salam kenal juga ya, mbak :)
Deletehahahasyeeekkkkkk...... kisah kasih di masa lalu.... hihihi....
ReplyDeletemalah asyeeek -____-
Deletecie..cie...
ReplyDeletehahaha...
ini lagi malah cie cie hahaha ngerasa punya cerita yang sama ya? :p
Deletewah, ngena banget mbak..
ReplyDeletecepet semangat ya...
^0^/
wuiih, ngena gimana, mbak? semangat selalu! hohoho :D
Deletehahahaha iyaaaa :P
ReplyDelete