Selamatkan Generasi dari Perkawinan Usia Anak


Matanya sayu, wajahnya pucat, seolah senyumnya tak bersemangat. Di usia yang masih dini, KTP belum dikantongi, namun perut besarnya telah terisi jabang bayi. Mendatangi bidan, didampingi bapak ibu, karena sang suami pun mungkin masih bersekolah atau terpaksa bekerja untuk menghidupi si jabang bayi.

Terdengar seperti kisah fiksi? Bisa jadi. Tapi pada kenyataannya, kondisi ini jamak terjadi pada masyarakat di Indonesia. Ya, kenyataan bahwa jumlah perkawinan usia anak yang cukup tinggi, seperti sebuah pil pahit yang harus kita telan.

dialog publik perkawinan usia anak

Membicarakan perempuan dalam konstruksi gender tidaklah mudah, padahal perkawinan usia anak lebih sering dialami oleh perempuan. Tembok mitos dan kepercayaan terlampau kokoh hingga susah ditembus oleh para perempuan yang ingin membicarakan kebutuhan dan pemikirannya.

Perempuan masih dianggap sebagai entitas yang harus diawasi, dilindungi, dan diarahkan, sehingga pernikahan usia anak dianggap sebagai wadah yang sah bagi sebagian masyarakat untuk dilaksanakan dengan dalih untuk melindungi harkat dan martabat perempuan.

Belum lagi kritik sosial yang menganggap bahwa perempuan berusia di atas 15 atau 18 tahun yang belum menikah, dianggap sebagai aib bagi keluarga atau munculnya label sebagai perawan tua sehingga keluarga akan segera mencarikan jodoh untuk anak perempuannya.

Ketika bicara tentang perkawinan anak, maka kita akan tercengang pula dengan data BPS yang dikeluarkan pada tahun 2017. Proporsi perempuan umur 20 - 25 yang berstatus kawin sebelum usia 18 tahun sebanyak 11, 54%, sedangkan di tahun 2018 sebanyak 11, 20%. Hal ini disampaikan oleh Bapak Fatahillah, Asisten Deputi Partisipasi Media Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) dalam Dialog Publik Pencegahan Perkawinan Usia Anak, Kamis (5/12).

data perkawinan usia anak
data perkawinan usia anak

Hal senada juga diutarakan oleh Ibu Retno Sudewi, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana (P3AP2KB) Jawa Tengah. Berdasarkan data yang sudah dilaporkan pada tahun 2018, Kota Semarang menempati peringkat tertinggi perkawinan usia anak di Jawa Tengah, disusul oleh Kab. Banyumas.

Disebut perkawinan anak ketika terjadi sebelum berusia 18 tahun serta belum memiliki kematangan fisik, fisiologis, dan psikologis untuk mempertanggungjawabkan pernikahan dan anak hasil pernikahan tersebut. Tentu menjadi tugas bersama saat hak-hak anak dan perempuan tidak terpenuhi dan dipaksa menikah padahal belum cukup umur.

Perkawinan usia anak ini memang menjadi permasalahan global, tidak hanya di Indonesia tetapi juga terjadi di negara lain seperti India, Yaman, Palestina, Karibia, dll. Namun, menjadi prestasi yang tidak membanggakan bagi Indonesia ketika mendapatkan peringkat 7 di dunia terkait tingginya perkawinan usia anak berdasarkan data UNICEF di tahun 2018.

Prof. Ismi Dwi Astuti, Guru besar Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo mengungkap faktor-faktor penyebab terjadinya perkawinan usia anak seperti: tingkat pendidikan yang rendah, kemiskinan, budaya pratiarki, tradisi di daerah tertentu, perjanjian orang tua, termasuk karena kehamilan yang tidak dikehendaki.

Prof. Ismi, Guru besar UNS Solo
Prof. Ismi, Guru besar UNS Solo

Perkawinan anak juga dapat dinilai sebagi koping ekonomi yang mengurangi biaya membesarkan anak perempuan. Diperkuat dengan budaya patriarki yang memaksa anak perempuan untuk menerima peran domestik rumah tangga, sehingga perempuan memiliki peran terbatas dalam masyarakat yang lebih luas.

Perkawinan anak juga memiliki efek domino pada generasi selanjutnya karena anak-anak dari ibu belia yang tidak berpendidikan, juga kecil kemungkinannya untuk mencapai tingkat pendidikan yang tinggi. Hal ini semakin mengabadikan rendahnya tingkat melek huruf dan membuat peluang mendapatkan mata pencaharian semakin terbatas. Para perempuan juga rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga dan tidak memiliki kapasitas dalam mengambil tindakan terhadap kekerasan tersebut.

Meski pernikahan usia anak juga sering terjadi pada anak laki-laki yang juga menderita secara finansial, mereka masih bisa meninggalkan istri dan anaknya di rumah orang tua. Sedangkan anak laki-laki ini bisa mencari peluang kerja di tempat lain. Ironisnya, opsi ini tidak jamak tersedia untuk sebagian besar istri yang masih belia. Lagi-lagi, perempuan tidak memiliki banyak pilihan.

Belum lagi risiko dari sisi kesehatan yang bisa mengancam nyawa ibu hamil di usia belia. Kematian terkait kehamilan merupakan penyebab utama kematian pada anak perempuan berusia 15-19 tahun, bahkan kematian bayi dua kali lipat lebih tinggi pada bayi dari ibu yang sangat muda.


Negara telah mengatur mengenai perkawinan usia anak dan orang tua berkewajiban serta bertanggung jawab untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak. Namun para orang tua yang seharusnya mencegah perkawinan usia anak malah mendorong anak untuk menikah lebih cepat.

Secara mental, saat belia, anak perempuan belum matang dan sadar atas hak-hak yang dimilikinya. Karena itu, hukum adalah alat untuk melindunginya. Sebagaimana yang disampaikan Prof Ismi tentang inovasi yang bisa dilakukan demi mencegah perkawinan usia anak, yaitu:
  • Memberdayakan anak perempuan dengan informasi, keterampilan, dan jaringan pendukung.
  • Mendidik dan memobilisasi orang tua dan anggota masyakarat tentang hak anak, kesehatan reproduksi, serta risiko dan konsekuensi perkawinan usia anak.
  • Meningkatkan aksesbilitas dan kualitas sekolah formal untuk anak perempuan.
  • Menawarkan dukungan ekonomi untuk anak perempuan dan keluarganya.
  • Mengembangkan kerangka kerja hukum dan kebijakan.
Lantas solusi praktis apa yang bisa kita lakukan? Peluk, cium, penuhi hati anak-anak dengan kasih sayang dan perhatian dari kita sebagai orang tua maupun orang dewasa di sekitarnya agar mereka dapat tumbuh dengan baik, mudah berempati dan terhindar dari hal destruktif yang juga bisa mencelakai orang lain.

Hal sederhana lain yang bisa kita lakukan dengan tak lagi menanyakan “kapan nikah?” dan “kapan punya anak?” sehingga pernikahan tidak lagi menjadi satu-satunya tolak ukur kesuksesan orang tua dalam mendidik dan membesarkan anak. Terdengar remeh memang, tapi percayalah pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat mempengaruhi hajat hidup orang banyak di kemudian hari.

bersama narasumber dialog publik Kementerian PPPA

10 comments:

  1. setuju sov sama kata narsum itu, memang salah satu solusi itu diarahkan ke kegiatan positif ya biar nggak mikirin cinta melulu hahaha

    ReplyDelete
  2. Edukasi buat anak2 remaja juga perlu nih, jadi mereka tau risiko2nya perkawinan usia anak.

    ReplyDelete
  3. Setuju..penting utk terus disosialisasikan bhw pernikahan membutuhkan kesiapan fisik maupun mental. Utk wanita, usia kurang dr 20 th blm siap alat2 reproduksinya sehingga rawan terjadi masalah..

    ReplyDelete
  4. Bagus banget mbak. Jadi jawaban bagus atas isu yang beredar. Kalo biasanya yang sering digaungkan itu daripada zina mending anak dinikahkan aja. .Duh.. Duh. . Padahal bukan itu ya solusi terbaik

    ReplyDelete
  5. Kenyataan yang memedihkan ya mbak.
    Mudah-mudahan, prosentase tersebut bisa segera mengecil.
    Sehingga makin banyak anak-anak perempuan kita yang fokus selesaikan sekolah atau bekerja untuk dirinya sendiri.

    ReplyDelete
  6. Barubtau yernyata pernikahan anak usia dini masih banyak terjadi jadi miris karena ada banyak faktor yang harus diperhatikan terutama kesiapan baik fisik maupun mental

    ReplyDelete
  7. Sedih juga ya dengan fenomena cepet-cepet nikahin anak agar tak menjadi beban orangtuanya. Padahal ketika anak tersebut menikah, kemudian hamil dan melahirkan, bakalan tetap balik ke orangtuanya karena belum paham harus gimana.

    ReplyDelete
  8. Ada tetangga di sini, asalnya dari Jawa. Anaknya masih SMA akhirnya nikah krn pacarnya hamil 😭😭 skrg aku udah melahirkan, anaknya sdh 5 bulanan. miris kalau lihat, terlihat biasa aja tapi sorot matanya tetap beda.
    Semoga makin berkurang kasus spt itu

    ReplyDelete
  9. No no no, nikah muda, kebanyakan yang aku kenal pada menyesal memilih jalan hidupnya, yah namanya nyesel kan ya, di belakang. Kalo di depan mah pendaftaran kan?

    ReplyDelete
  10. ih sayang banget kalo nikah muda tuuh. kasian badan perempuannya belum siap untuk mengandung :(

    ReplyDelete

Hai! Terima kasih sudah membaca sampai selesai ya. Silakan tinggalkan komentarmu di sini :)