Mandiri Bukan Berarti Pergi

Sabtu kemarin, aku melakukan pemeriksaan lanjutan di poli THT karena keluhan di hidungku. Ini berarti, dua Sabtu berturut - turut, aku mengunjungi rumah sakit yang terletak di daerah Tugu. Kebetulan letak poli THT berdekatan dengan Poli Anak.

Pagi itu, aku melihat anak-anak kecil berlari di sekitar tempat dudukku. Mungkin dulu aku yang diperhatikan, sekarang aku yang memperhatikan polah lucu anak-anak ini.

How time flies so fast. Itu suara yang muncul di kepalaku ketika aku mengamati anak-anak yang asyik bermain sambil menanti antrean. Beberapa yang ku perhatikan adalah anak-anak yang baru bisa berjalan dan sedang belajar berjalan. Terlihat langkah mereka yang belum kuat dan sering terjatuh saat berpijak beberapa langkah.

Aku melihat tangan kanan bocah itu menggandeng tangan kiri sang ibu atau bapaknya. Mungkin dulu aku juga melakukan demikian. Tidur dalam pelukan bapak dan ibuk. Memegang tangan mereka ketika berlatih berjalan. Menangis dalam pelukan mereka ketika terjatuh. Atau merengek minta sesuatu.  Entah seperti apa masa kecilku, yang aku tau kini umurku telah lebih dari dua puluh satu.

Ketika beranjak dewasa, banyak anak yang menginginkan untuk hidup mandiri, pun aku. Aku pernah punya keinginan untuk melanjutkan studiku di luar kota. Selain universitas tersebut adalah universitas impian, alasan selanjutnya mengapa aku ingin melanjutkan kuliah di luar kota adalah mandiri. Aku ingin merasakan hidup sendiri tanpa bapak ibukku. Dulu.

Tuhan berkata lain. Aku diterima di universitas yang masih berada di kota tempatku tinggal. Tapi rasanya impian itu belum padam. Aku mencoba menguji nasib di SNMPTN, ketika aku telah memasuki tahun pertama menjadi mahasiswa. Lagi-lagi, Tuhan tak mengizinkanku. Sepertinya Dia memang ingin aku tetap bersama bapak dan ibuk di rumah sederhana kami.

Awalnya aku sedih. Tapi setelah apa yang aku alami seiring dengan umurku yang semakin menua, rasanya aku tak ingin jauh dari bapak ibukku. Aku ingin selalu dekat dengan mereka. Meski aku paham, kelak jika aku telah bersuami, aku menjadi hak suamiku. Tapi itu nanti, atau entah kapan.

Aku pernah menjadi anak - anak lagi di usiaku yang ke-19. Saat aku mengalami patah tulang karena kecelakaan. Aku ingat, waktu itu ibuk yang memandikanku, ibuk dan bapak yang menuntunku ketika aku ingin buang air dan apa pun yang aku lakukan, pasti dengan dibantu orang lain termasuk bapak ibukku. Hampir setiap malam, aku menangis karna merasa tak berguna sebagai seorang anak, tentunya tanpa mereka tau. Semenjak itu, aku berpikir bahwa ternyata apa yang aku lakukan selama ini, belum ada apa-apanya jika dibanding dengan apa yang sudah bapak ibuk lakukan untukku.

Maaf ya, Bapak.. Maaf ya, Ibuk..

Aku sering mendengar cerita teman-temanku yang merantau, betapa mereka sedih ketika tahu orang tuanya sakit tapi mereka tak ada di sisinya. Betapa sedih ketika mereka tahu bahwa orang tuanya sungguh merindu tapi tak bisa bertemu dengannya.

Betapa aku ingin selalu ada di sisi bapak ibukku ketika aku menyadari bahwa kulit bapakku mulai keriput dan kondisi fisik ibukku mulai melemah. Ya, mereka sudah semakin tua. Lalu siapa lagi yang akan merawat mereka selain anak-anaknya? Aku ingin tetap di sini, bersama mereka.

Sebenarnya aku juga tak benar-benar paham, apa itu "mandiri". Yang aku tahu dari dulu bahwa mandiri adalah seseorang yang tidak manja, tidak bergantung pada orang lain, bisa berdiri sendiri. Lalu aku pikir lagi, bahwa untuk menjadi mandiri sebenernya tak harus pergi, tak harus dengan meninggalkan bapak ibukku. Walaupun aku tahu, sebenarnya kita tak benar - benar pergi, mereka selalu hidup di hati kita. Walaupun aku juga mengerti, bahwa seorang anak juga punya hak untuk hidupnya sendiri. Tapi toh aku tetap bisa melakukan apa pun tanpa harus meninggalkan mereka di kota yang berbeda. Aku tetap bisa kuliah, bekerja, menjalin relasi secara bersamaan di sini tanpa harus meninggalkan mereka. Ya, itu pilihan. Meski harus ku akui bahwa keinginan untuk membina hidup selain di kota ini masih terus hidup di pikiranku, hidup di hati seorang yang mencintai petualangan. Tapi semua itu hanya bisa aku lakukan, jika restu bapak ibuk menyertaiku. Wallahua'lam.

"Dari Abdullah bin 'Amr beliau berkata; Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda; Ridha Allah pada ridha orangtua dan murka Allah pada murka orangtua." (H.R.Al-Baihaqy)



1 comment:

  1. Mandiri bukan berarti mandi sendiri. Tapi berpikir lebih dewasa dan punya rasa tanggung jawab lebih. paham Sovi?

    ReplyDelete

Hai! Terima kasih sudah membaca sampai selesai ya. Silakan tinggalkan komentarmu di sini :)