Hiding The Feeling

Aku masih menunggu, di ruangan, tak sepi tak pula ramai. Menunggu: kamu.

Bukan hal yang mudah untuk satu pertemuan, dimana kamu yang meminta.

Aku yang tak biasa berhias, mencoba merapikan jilbab putihku agar nampak rapi. Berkaca, muka yang nampak kumal itu ku usap dengan bedak tabur yang ku pinjam dari seoarang teman. Aku baru sadar dengan apa yang baru saja ku lakukan: aku berbedak.

Aku duduk di kursi panjang sambil memeluk tas ransel hijau kesayanganku. Seperti ada rasa gembira yang hinggap di hati dan menyebabkan guratan senyum terus mengembang. Itu karena, kamu. Karena kita akan bertemu.

Kamu datang, dengan senyum manis yang kau bawa. Untukku kah?

Kamu memilih duduk di samping kananku, bersandar di pengangan kursi panjang yang kita duduki. Dengan posisi duduk yang seperti itu, kamu bisa bebas mengamatiku. Tiba – tiba saja, aku merasa.. deg-degan!

Ah, ada saja orang yang melihat kita, menggoda! Tapi kamu tak peduli, kamu tak bergeming dari kursi panjang itu dan terus saja mengamatiku.

Aku terdiam. Lamunan membawaku pada saat – saat bersamamu. Saat gerimis tak menghentikanmu untuk mengantarku yang sedang kesakitan, pulang ke rumah. Saat kerupuk Wira dan Richeese kau suapkan ke mulutku. Saat.. Saat aku tersadar bahwa kau sudah memulai pembicaraan ini.

Aku tertawa kecil mendengar apa yang kau ceritakan. Sesekali mencuri pandang ke arah matamu yang nampak menyembunyikan sesuatu. Tawaku perlahan buyar, senyumku mulai pudar, aku baru sadar bukan ini yang ingin kau bicarakan.

Kamu menggamit tanganku, berjalan, meninggalkan kursi panjang itu. Kamu memilih tempat yang agak sepi, tak berdua memang, tapi terasa lebih tenang.

Badanku gemetar, jantungku berdegup kencang, aku takut.

Aku faham, inilah yang sebenarnya ingin kau katakan. Inilah alasan kenapa kau mengajakku bertemu, berdua saja.

Tanpa basa basi lagi, kamu memulainya.

“Kamu tau.. Emm.. Aku sudah punya.. pacar..”

Aku tak mengerti, ini pernyataan atau pertanyaankah? Aku tertegun. Aku diam.

Tanpa menunggu aku berucap, kau sudah berkata lagi.

“Aku tau, mungkin kamu sudah tau,”

Kita berdua, diam.

“Boleh aku tanya sesuatu?” tanyamu yang ku jawab dengan anggukan.

“Sebenarnya, perasaan kamu ke aku gimana? Adakah perasaan lebih padaku?”

Aku menoleh. Raut mukanya nampak serius. Dia tidak sedang bercanda. Pikirku.

“Menurutmu? Ya nggak lah..” jawabku singkat. Ku beranikan memandang mata yang sedang menatapku itu. Aku berusaha keras untuk tersenyum. Mata itu tersenyum. Tersenyum setelah mendengar kata ‘nggak’ dari bibirku.

Aku menunduk. Keringat mengucur dan tanpa ku sadari ada kristal bening yang mulai menetes di pipiku. Ini salah! Harusnya aku jawab iya! Aku sayang kamu! Aku sayang kamu! Aaaarrggh! Aku meracau dalam hati. Haruskah aku mengatakan yang sebenarnya padamu? Sementara kau kini sudah menambatkan hati pada wanita lain? Apakah semua yang telah terjadi selama ini, tak berarti apa-apa.. bagimu?

“Tapi.. kenapa kamu.. menangis?” tanyamu.

Aku terdiam sambil menyeka pipi, ingin menghilangkan jejak air mata.

“Aku sayang kamu, Serly.. Tapi.. Tapi aku tak bisa jika harus melepasnya..” ucapmu yang kini juga menunduk.

Aku menelan ludah, tiba – tiba saja pandanganku kosong.

“Entahlah, tapi kamu spesial. Kamu beda. Kamu penuh semangat. Bahkan, dia tak pernah menyemangatiku seperti apa yang selalu kau lakukan padaku. Tapi setiap orang, termasuk aku, memiliki kadar yang berbeda – beda soal rasa sayang. Rasa sayangku kepada orang tua, kepada adik, sahabat, teman, kepada.. dia, kekasihku dan juga, kepada kamu.. @*^($Q*#^&$%?*-/&_:$&+*.....”

Aku sudah tak bisa mendengar dengan jelas. Tangisku pecah. Melihat badanku berguncang, kamu memelukku. Pelukan pertama dan terakhir yang ku dapat darimu selama ini.

Kamu mengusap air mata di pipiku, lembut. Kamu memandangku dengan tatapan merasa bersalah. Air mata yang sempat berhenti karena kau usap, kini tak bisa ku bendung lagi.

Lirih ku berkata “Aku mau pulang...”

Kau kaget. Sorot matamu melemah, berisyarat baiklah.

Kita berdua enggan beranjak. Aku faham, kau menungguku untuk berdiri dan meninggalkan tempat itu, tapi aku tak akan melakukan yang demikian. Aku ingin kau meninggalkan tempat itu terlebih dahulu, entah kenapa, tapi itulah yang terbersit dalam harapku saat itu.

Seolah kau bisa membaca situasi ini, kau berdiri. Kemudian duduk bersimpuh di depanku yang sedang duduk menunduk untuk menyembunyikan si kristal bening. Kau memberiku sehelai tisu sambil memandangku dan berpamitan.

“Aku pulang ya,” ucapmu dengan lirih dan muka yang sedikit lesu.

Aku memandangmu lekat – lekat, lalu kembali menunduk. Kemudian kau berdiri, berjalan menjauh dariku. Meninggalkanku yang masih terdiam. Masih tak percaya apa dengan apa yang baru saja terjadi.

Perlahan – lahan, kamu hilang dari pandanganku. Aku berdiri, berlari kecil, aku ingin menyusulmu. Tapi ketika ku keluar, aku melihatmu bersamanya. Bersama dia, kekasih hatimu.

Aku sudah tak bisa berkata – kata lagi. Mulutku tertutup rapat melihat pemandangan itu. Semuanya nampak semu, semua menjadi kelabu.



#semifiktif #selesai

lifeoffthedlist.com/


“..I wish I could lay down beside you. When the day is done and wake up to your face, against the morning sun. But like everything I’ve ever known, you’ll disappear one day. So I’ll spend my whole life hiding my heart away.. away..”

6 comments:

Hai! Terima kasih sudah membaca sampai selesai ya. Silakan tinggalkan komentarmu di sini :)